Aku Impoten?
Jarum jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam, segera ku akhiri kegiatan browsingku malam ini. Kututup emailku setelah tadi sempat membalas treat milis, hanya beberapa yang aku balas sedangkan yang belum jumlahnya masih banyak. Berpamitan dengan beberapa teman chatting yang masih online. Sebelum signout semua akun dan mematikan elnovo, terlebih dahulu aku update status microbloggingku.
Kegiatan browsing bersama teman-teman biasanya dilanjutkan dengan nongkrong diwarung dekat kampus atau ngucing diseberang jalan sebagai pilihannya. Biasanya kami menghabiskan waktu hingga lewati batas hari, sekitar jam dua dinihari. Seperti malam ini, kami memilih kucingan. Dengan beralaskan tikar kami memulai ‘rutinitas’, menikmati nasi kucing, mie rebus, gorengan, the, susujahe, kopi susu dsb.
Kini memasuki musim hujan, seharian ini hujan terus mengguyur tanpa ada panas yang menyengat seperti biasanya, hanya berselang mendung. Pakaian yang kucuci biasanya setengah hari bisa kering kini tak bisa lagi. Semua sepatuku basah, kemarin masuk kelas terpaksa pinjam teman.
Tiba-tiba gerimis kembali turun, seakan tak memberikan kesempatan jalan beraspal ini kering sejenak. Untuk kering sepertinya sulit, apalagi didekatku jalannya lebih landai sehingga membuat genangan. Yang airnya dapat menciprat ke trotoar bila ada kendaraan yang melintas tanpa mengurangi kecepatannya.
Rupanya gerimis hanya turun sebentar. Kecewa? Ah, aku kecewa bukan karena gerimis yang hanya sesaat juga bukan karena musim hujan yang menjadikan pakaianku sulit kering. Tapi aku sedih karena tak kutemukan sesuatu saat hujan. Sesuatu yang bisa membuatku menulis tentang hujan. Sesuatu yang menginspirasi dan kusebut inspirasi. Saat hujan turun, aku biasa bercinta dengannya meski kadang aku baru bisa mencicipi disisa rintiknya. Tak seperti sekarang, hujan ini benar-benar nyata dan telanjang dihadapanku, tapi tak sedikitpun ku bergairah tuk mencumbunya. Impoten. APA? Tidak, aku tidak ingin impoten, aku masih ingin merasai klimaks saat bercinta dengan apapun itu namanya.
Sedih rasanya, seperti saat dokter memvonis impoten kepada pasiennya. Meskipun aku belum pernah mendengar vonis dokter tapi aku bisa membayangkan betapa sedihnya pasien itu.
Sedihnya lagi ternyata tak hanya hujan yang tak lagi dapat kucumbu, senja pun ikut menolak saat kucoba menjamahnya. Hujan dan senja, dua alasan yang membuktikan bahwa aku normal. Aku bisa bercinta dengan mereka tanpa ada paksa, semua mengalir dan mengalun begitu saja. Entah sejak kapan aku kehilangan gairah seperti ini, aku mencoba mengingatnya. Gagal. Kuberusaha mengingatnya dengan lebih keras lagi. Akhirnya aku hanya dapat menduga. Apa mungkin sejak tidak sedang ‘bercinta’ yang pernah kukatakan saat senja? Senja menganggap itu bualan? Tapi apa yang kuungkap kepada ‘rasa’ saat itu adalah jujur. Senja cemburu padaku? Saat itu juga kukatakan ku kan kembali bercinta dengan senja bila ternyata ‘rasa’ tak mencinta. Mungkin senja merasa aku telah mempermainkannya.
jika kau tak jua datang
biarkan aku bercinta dengan kata
tenggelam dalam secangkir makna
hayati hari masih senja
Mungkin ini salah pahamku dengan senja. Lantas dimana letak salah pahamku terhadap hujan? Yang akibatkan hubunganku dengannya menjadi dingin dan beku, yang derainya tak kunjung reda meski hujan telah berhenti.
Haruskah aku kembali mengira-ngira apa yang membuat hujan dingin terhadapku? Ya atau tidak, jawaban pasti tidak akan aku dapatkan. Entah apa alasannya, yang pasti hujan kembali turun. Rintiknya begitu nyata, terasa menelisik. Luka.
Kegiatan browsing bersama teman-teman biasanya dilanjutkan dengan nongkrong diwarung dekat kampus atau ngucing diseberang jalan sebagai pilihannya. Biasanya kami menghabiskan waktu hingga lewati batas hari, sekitar jam dua dinihari. Seperti malam ini, kami memilih kucingan. Dengan beralaskan tikar kami memulai ‘rutinitas’, menikmati nasi kucing, mie rebus, gorengan, the, susujahe, kopi susu dsb.
Kini memasuki musim hujan, seharian ini hujan terus mengguyur tanpa ada panas yang menyengat seperti biasanya, hanya berselang mendung. Pakaian yang kucuci biasanya setengah hari bisa kering kini tak bisa lagi. Semua sepatuku basah, kemarin masuk kelas terpaksa pinjam teman.
Tiba-tiba gerimis kembali turun, seakan tak memberikan kesempatan jalan beraspal ini kering sejenak. Untuk kering sepertinya sulit, apalagi didekatku jalannya lebih landai sehingga membuat genangan. Yang airnya dapat menciprat ke trotoar bila ada kendaraan yang melintas tanpa mengurangi kecepatannya.
Rupanya gerimis hanya turun sebentar. Kecewa? Ah, aku kecewa bukan karena gerimis yang hanya sesaat juga bukan karena musim hujan yang menjadikan pakaianku sulit kering. Tapi aku sedih karena tak kutemukan sesuatu saat hujan. Sesuatu yang bisa membuatku menulis tentang hujan. Sesuatu yang menginspirasi dan kusebut inspirasi. Saat hujan turun, aku biasa bercinta dengannya meski kadang aku baru bisa mencicipi disisa rintiknya. Tak seperti sekarang, hujan ini benar-benar nyata dan telanjang dihadapanku, tapi tak sedikitpun ku bergairah tuk mencumbunya. Impoten. APA? Tidak, aku tidak ingin impoten, aku masih ingin merasai klimaks saat bercinta dengan apapun itu namanya.
Sedih rasanya, seperti saat dokter memvonis impoten kepada pasiennya. Meskipun aku belum pernah mendengar vonis dokter tapi aku bisa membayangkan betapa sedihnya pasien itu.
Sedihnya lagi ternyata tak hanya hujan yang tak lagi dapat kucumbu, senja pun ikut menolak saat kucoba menjamahnya. Hujan dan senja, dua alasan yang membuktikan bahwa aku normal. Aku bisa bercinta dengan mereka tanpa ada paksa, semua mengalir dan mengalun begitu saja. Entah sejak kapan aku kehilangan gairah seperti ini, aku mencoba mengingatnya. Gagal. Kuberusaha mengingatnya dengan lebih keras lagi. Akhirnya aku hanya dapat menduga. Apa mungkin sejak tidak sedang ‘bercinta’ yang pernah kukatakan saat senja? Senja menganggap itu bualan? Tapi apa yang kuungkap kepada ‘rasa’ saat itu adalah jujur. Senja cemburu padaku? Saat itu juga kukatakan ku kan kembali bercinta dengan senja bila ternyata ‘rasa’ tak mencinta. Mungkin senja merasa aku telah mempermainkannya.
jika kau tak jua datang
biarkan aku bercinta dengan kata
tenggelam dalam secangkir makna
hayati hari masih senja
Mungkin ini salah pahamku dengan senja. Lantas dimana letak salah pahamku terhadap hujan? Yang akibatkan hubunganku dengannya menjadi dingin dan beku, yang derainya tak kunjung reda meski hujan telah berhenti.
Haruskah aku kembali mengira-ngira apa yang membuat hujan dingin terhadapku? Ya atau tidak, jawaban pasti tidak akan aku dapatkan. Entah apa alasannya, yang pasti hujan kembali turun. Rintiknya begitu nyata, terasa menelisik. Luka.