08.08'08 ku

80 hari sebelumnya

Malam sebelumnya (07/08), bertiga Jirji dan Andre nginap di Sampangan (kos Andre) bikin lamaran asisten praktikum, sekalian edit photo. Dengan modal nekat bertiga ‘iseng’ daftar asisten. Itung-itung buat nambah pengalaman plus sedikit bantu biaya kos. He..he..he.. iya kalo jadi. Doa’in aja.

Hari ini (08/08) 13.30 bareng Jirji dan Andre urus transkrip nilai buat kelengkapan pendaftaran, juga ada Angga yang mau komplain jadwal SP-nya yang bentrok dengan jam kerjanya. Kerja sambilan untuk isi waktu libur.

Sekitar 15.00 semua urusan dianggap selesai, Angga langsung pulang, Jirji ke IC. Aku pergi temenin Andre isi game di DP Mall. Rencana sore ini aku pulang ke Welahan, Jepara. Andre mewanti-wanti apa nggak kesorean aku pulangnya. Aku cuma bilang tenang aja. Jam 17 lewat kami pulang. Sempat check ATM Andre. Kamipun berpisah. Dia pulang ngangkot, aku jalan kaki ke kos.

Kurapikan kamar yang sedikit berantakan. Ada beberapa potong pakaian kotor kumasukkan tas untuk dicuci di rumah.
Menyusuri Pandanaran menuju Simpang Lima. Sudah jam 17.30, aku ragu apakah masih ada bus ke terminal. Sesampainya di depan Masjid Baiturrahman aku sedikit lega. Ternyata masih ada bis.
Langit sudah mulai gelap. Kendaraan yang kutumpangi sedikit melaju ditengah-tengah sayup suara adzan yang mulai mengecil tertelan deru.

Sampai terminal 18.10, suasana terminal tak seramai pagi. Tapi lalu-lintas di pertigaan pintu keluar terminal dan Jl. Kaligawe tetap ramai. Kendaraan kecil, mobil pribadi ditambah bus dan truck besar menambah ramai lalu-lintas. Polisi yang berada di dekat pintu masuk/keluar tampak sibuk.

Aku berdiri di dekat traffic light. Lama ku menunggu, tapi tak satupun bus jurusan Jepara yang melintas. Hanya ada bus jurusan dalam kota saja. Jam 17.50 aku sedikit pesimis tentang adanya bus untuk pulang.

Akhirnya ‘dengan nekat’ ku putuskan untuk berjalan (ke arah timur) lebih dari 100m ke tempat biasa bus jurusan Jepara keluar dari terminal (dekat pintu gerbang perum Genuk Indah), padahal biasanya menjelang sore bus jurusan Jepara standby (pindah) ke traffic light pertigaan pintu keluar/masuk tadi. Nekatlah, karena dalam benakku aku harus pulang malam ini.

Sesampainya disana tak kutemukan banyak kendaraan tapi penumpang yang masih setia menunggu. Ku amati tak satupun bus dari Jepara yang masuk terminal Terboyo. Mungkin mereka telah mengoper penumpang di terminal Demak untuk dibawa ke Semarang, begitu sebaliknya. Ah… aku tetap ngotot untuk menunggu!

Pukul 19.10 dari kejauhan sedikit samar kulihat bus jurusan Jepara dari arah tempat aku menunggu tadi (traffic light) sudah sesak oleh penumpang. Dan berhenti di tempat aku menunggu sekarang. Sebagian penumpang ikut turut, rasanya aku ingin turut tapi aku berharap masih ada bus setelah ini. Kondektur tlah berkali-kali berteriak ini bus terakhir, tapi aku tak peduli. Bus perlahan menjauh.

Kurogoh kantong celana jeansku, hanya tersisa Rp.8000,- pas buat ongkos ke Welahan sisa seribu. Aku cek sisa pulsa di hp-ku meski sebenarnya aku sudah tahu pulsa yang tersisa tak cukup buat sms apalagi untuk telpon.

Lama kumenunggu dengan harapan masih ada bus terakhir untukku. Hingga pukul 20.00 aku juga belum temukan bus yang kumaksud. Penumpang yang menunggu lama kelamaan habis. Mereka menaiki bus yang entah apakah itu benar-benar bus yang mereka maksud. Akhirnya tinggal aku seorang diri. Aku duduk di teras rumah makan yang telah tutup beberapa waktu lalu.

Aku capek juga lapar. Aku baru ingat baru sekali aku makan tadi pagi. Itupun karena aku mau minum obat. Kalo nggak minum obat? Entahlah. Ada warung ‘kucingan’ di pinggir jalan. Ingin rasanya mengisi perut ini, tapi rasanya tak mungkin. Kalo aku makan, maka aku tak biasa pulang. Hikz..

Aku sedikit menyesal. Mengapa aku tak menunggu bus dimana pertama kali aku menunggu bus tadi. Teringat aku punya teman di daerah Genuk, dengan begitu aku bisa bermalam ditempatnya dan besok pagi baru aku pulang. Harapan aku bermalam di Genuk 15%. Akan kucari wartel untuk menghubungi temanku ini.

20.30 kuberjalan menuju pertigaan Genuk (Jl. Kaligawe – Jl. Woltermonginsidi) Hanya bus jurusan Jakarta & Surabaya yang melintas. Kalo aku naik bus jurusan Surabaya aku bisa turun di Trengguli. Kalo harus naik bus jurusan Kudus/Surabaya kenapa nggak dari tadi aja!! Nanti ajalah, aku coba cari jawaban setelah di pertigaan Genuk.

Sesampainya disana aku tak menemukan wartel. Mungkin ada tapi aku tak cermat. Aku hampiri seorang laki-laki yang tampak sedang menunggu bus di dekat pos polisi. Aku dekati dan bertanya kemana dia mau pergi, dia jawab mau ke Kudus. Dia juga tanya padaku mau kemana, ke Welahan jawabku.

Satu bus jurusan Surabaya melintas. Aku tanya ke dia kenapa nggak naik bus itu? Dia bilang cari PATAS, lebih nyaman begitu alasannya. Benar-benar orang yang memperhatikan kenyamanan. Kalo aku? Sesuai kantong lah, he..he..he..

Pukul 20.10. sambil lihat jam dia bilang nanti masih ada satu (PATAS). Benar apa yang dia katakan, tak lama berselang PATAS Nusantara terlihat, diapun berdiri bersiap untuk naik. Bagaikan sihir aku terbawa untuk ikut serta naik PATAS. Dengan modal nekat aku bisa turun di Trengguli pikirku. Laki-laki tadi duduk di bangku tengah sedangkan aku langsung mencari bangku kosong paling belakang, tempat yang paling aku suka kalo naik bis. Aku duduk di pojok kiri dekat pintu belakang.

Tak salah laki-laki itu bilang. Memang terasa nyaman terlebih oleh tubuhku yang lelah. Terlihat dari tempat aku duduk, mereka-mereka termasuk orang yang ber-class. Setidak-tidaknya bukan kelas ekonomi. Beginilah enaknya duduk dibelakang bisa melihat-lihat penumpang he..he..he... Aku tak tahu persis sebelum singgah di Semarang bus ini dari mana, entah dari Jogja aku juga nggak tahu.

Di seberang kananku, sepasang muda-mudi sedang tidur kelelahan. Ntah saudara, kakak beradik, teman atau pasangan muda aku juga tak tahu. Wajah mereka terlihat damai dalam tidur. Ingin rasanya kupejamkan mata sambil menikmati nyamannya perjalanan juga istirahatkan tubuh yang lelah. Aku coba, aku tak bisa. Meski aku bisa pejamkan mata aku tak dapat menikmatinya.

Terbayang, aku harus turun di Trengguli. Aku harus memikirkan perjalananku selanjutnya nanti. Kondektur belum menarik ongkos. Ntah berapa yang harus kubayar. Kurogoh uang disaku belakang jeansku. Kuhitung. Ada empat lembaran, satu lembar lima ribuan dan tiga lembar uang seribu. Akan kubayar dengan uang ini. Jika tak cukup? Mau nggak mau aku harus membayar sejumlah uang yang ada atau …, ntahlah.
Laki-laki di seberangku terbangun. Memainkan hp-nya, sedangkan sang perempuan masih tertidur lelap.

Kondektur berjalan ke belakang. Setelah menarik ongkos laki-laki yang naik bersamaku tadi ia menghampiriku. Aku sebutkan dimana aku berhenti dan tanyakan berapa ongkosnya. Lima ribu, jawab kondektur. Ku serahkan lembar lima ribuan. Kondektur menyalakan lampu diatasku untuk memastikan, lalu ia matikan dan kembali ke depan lagi.

Ongkos tinggal tiga ribu rupiah, buat ongkos ojeg dari Trengguli ke Welahan rasanya mustahil. Dari Trengguli aku bisa nebeng orang ke Welahan, atau aku harus jalan kaki (lagi) ?!! Memasuki kota Demak satu dua orang penumpang turun.

Hampir 22.00 aku tiba di Trengguli. Masih ada ojeg yang siap mengantarkan penumpangnya. Dengan jalan sedikit agak cepat aku tinggalkan (pertigaan) Trengguli. Hingga aku tak sempat dengarkan tukang ojeg yang menawarkan jasa. Beberapa meter dari jembatan seorang Ibu mengendarai motor menghentikanku, menawarkan tumpangan. Rumah Ibu itu tak jauh dari sini, jadi aku dapat tumpangan beberapa ratus meter. Aku ucapkan terima kasih padanya saat aku harus turun.

Ku lanjutkan perjalananku dengan jalan kaki. Beberapa kendaraan truk melintas dengan kecepatan yang lumayan, tak mungkin aku memaksanya untuk berhenti agar aku bisa ikut menumpang. Dari kejauhan terdengar suara dan kulihat lampu motor, kuberdiri di tepi aspal sambil melambaikan tangan isyaratkan aku butuh tumpangan. Menurunkan kecepatanpun tidak apalagi untuk berhenti. Kendaraan pick-up yang melintas beberapa pun tak menghiraukan. Aduh… capek sekali rasanya

Rumah-rumah dipinggir jalan pun terlihat sepi, hanya beberapa lampu rumah yang menyala. Mungkin sudah terlelap. Warung dipinggir jalan ada yang masih buka, seorang penjaga dan tayangan televisi yang menemaninya.

Ketika dari kejauhan terlihat kendaraan yang akan melintas aku hidupkan layar hp. Beri isyarat bahwa aku perlu tumpangan. Tapi tak ada yang memperdulikanku. Aku semakin pesimis saat harus melewati kuburan yang berada di tepi kiri kanan jalan. Sepi dan gelap. Bukannya aku takut, tapi jika aku minta tumpangan disini aku tak akan dapat tumpangan, mereka pasti mengira aku yang nggak hehe

Waduh.. biarlah aku terus berjalan. Kendaraan roda dua banyak yang melintas, aku coba berhentikan beberapa diantaranya, tak satupun berhenti. Berlalu begitu saja. Rasanya aku ingin berteriak tuk memanggil tapi batin ini terlalu lelah hingga aku lebih memilih beri isyarat dengan lambaian lewat lampu layar hp. Battre hp menunjukkan low battery.

Akupun tetap berjalan dan terus berjalan. Hampir dekat SMPN 1 Mijen Hp mati. Jalanan begitu gelap hanya terang jika ada kendaraan yang melintas. Dan mustahil rasanya aku akan dapat tumpangan ditempat yang sepi dan gelap. Hampir pasti kendaran yang melintas dengan kecepatan tinggi lebih-lebih kondisi jalan yang begitu lapang.

Aku tak tahu saat ini pukul berapa, tapi aku sempat lihat jam di hp sebelum mati tadi. Jam 23.40. Mungkin sekarang pukul 00.00. Hampir dua jam pula aku berjalan. Akhirnya aku sampai di Welahan. Aku mampir ke warnet AYU komplek ruko terminal Gedangan. Aku beli satu botol minuman bersoda dan tanyakan apakah ada lowongan pekerjaan di warnet ini. Sayang sekali, tak ada lowongan, ingin rasanya aku dapat kerjaan sambilan untuk isi liburan satu bulan ini. Tepat satu bulan lagi (08/09) perkuliahan dimulai.

Selesai minum dan bayar aku pergi. Aku tak tahu jam berapa aku tiba di Welahan, aku tak sempat lihat jam di warnet tadi. Yang pasti hari telah berganti. Aku berjalan menuju rumah. Sambil jalan aku berfikir tak mungkin aku mengetuk pintu jam segini. Selain mengganggu tetangga, orang rumah pasti sedang tidur pulas ditambah jarak kamar yang tak dekat dengan pintu depan. Meski aku ketuk, kemungkinan kecil ada yang terbangun. Aku hubungi lewat hp? Hpku kan nggak ada pulsanya lagipula juga mati.

Akhirnya aku putuskan ‘bermalam’ di Masjid dekat rumah. Sebelum tidur, aku Isya’ dulu. Di masjid ada seorang bapak yang tidur. Aku pilih letak tidur di dekat pintu. Tak ada karpet hanya beralaskan keramik berbantal tas, terasa dingin sekali. Tidurku tak nyenyak banyak nyamuk. Ada seorang bapak masuk dengan menggeser pintu di dekatku, aku terbangun. Dengan reflek aku duduk. ‘apakah ini sudah menjelang Shubuh?’ tanyaku dalam hati. Tapi kulihat bapak tadi mengambil posisi tidur tak jauh dari bapak yang telah tidur saat aku datang tadi.

Aduh… belum Shubuh rupanya, aku lanjutkan lagi tidurku. Aku ingin istirahatkan batinku yang letih oleh hari yang meletihkan.
Continue Reading

Misogyny Rhapsody

Segala keindahan yang tercipta tak mampu membuka mata hati ini
mata hati yang angkuh akan pencerahan tuk sadarkannya
bunga-bunga yang sekiranya mewangi menjadi busuk yang menjijikkan
bunga-bunga yang tercabik suarakan hati ini dengan umpatan
yang mengingatkan sang empu akan bidadari yang dipujanya
yang kini pergi bersama angin senja kelamkan tirai kalbu

ku berbaring di atas rumput taman yang mulai basah
memandang langit yang mencoba hibur hatiku yang tercabik
ku coba tuk ambil positif atas semua yang terjadi
tapi semakin ku mencoba semakin ku bimbang
rembulan pun menyerah dengarkan tangisku
hingga sang surya mampu buatku terlelap sejenak
ya.. hanya sejenak

18.02.07

Continue Reading