Kebahagiaan, Ada Dimana?
KALAU kita menyadari sejenak apa yang terjadi di sekeliling, tentu akan merasakan sebuah aliran kekuatan yang dahsyat dari pribadi-pribadi yang ada. Ada tukang batu yang rela bekerja sampai malam mengerjakan galian pipa, ada banyak sopir angkutan umum bersaing mengejar setoran, ada banyak pejabat korupsi di sana sini dari yang mulai jutaan sampai triliunan rupiah, ada konflik di sana sini merebutkan kursi kepemimpinan sebuah lembaga negara, ada orang yang mengejar hadiah jutaan rupiah sebegitu rupa sehingga orang lain tidak diberi kesempatan, dan masih banyak lagi peristiwa yang kita alami setiap harinya.
Dalam wawancaranya dengan seorang psikiater anggota American Board of Psychiatry and Neurology, Howard Cutler, MD, pemimpin politik dan spiritual bangsa Tibet, Dalai Lama keempat belas menyebut bahwa fenomena atau gejala ini merupakan gerak hidup manusia menuju kebahagiaan.
Gerak ini, menurut pemilik nama asli Tenzin Gyatso, sudah dibaca dan dirumuskan sejak lama oleh para filsuf sejak Aristoteles sampai Willliam James. Mereka berpendapat bahwa tujuan akhir keberadaan atau eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk mencari kebahagiaan. Sayang, kecenderungan terbesar manusia dari jaman ke jaman adalah mementingkan diri sendiri serta mau menang sendiri dalam mencapai kebahagiaan itu.
Padahal, menurut Dalai Lama, justru sebaliknya, orang yang mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari pergaulan, selalu cemas, iri dan membenci orang lain adalah orang yang tidak bahagia.
“Orang yang bahagia umumnya lebih mudah bergaul, luwes, kreatif, penyayang, pemaaf, murah hati, selalu bersedia mengulurkan bantuan untuk orang lain dan tidak sombong,” ujar Dalai Lama.
Cenderung Tamak
Banyak orang berpikir bahwa dengan memiliki jabatan tinggi, kursi kepemimpinan di sebuah lembaga tinggi, pendidikan tinggi, uang yang banyak dan segala macam kepuasan lain adalah faktor-faktor yang bisa membahagiakan.
Dalai Lama menyebutkan, kekayaan, kepuasaan atas jabatan tertentu atau kemuliaan, kesehatan, persahabatan, kepuasaan akan pengetahuan, pencerahan atas sebuah pandangan spiritual tertentu bisa jadi menyebabkan kita bahagia.
Namun, menurut Sr. Seraphine OSF, itu bukan bentuk kebahagiaan sejati. “Kebahagiaan sejati terletak di dalam diri kita sendiri,” ujar Pemimpin Wisma Samadi Emaus, Jakarta.
Keinginan kita untuk mengejar segala sesuatu semisal uang, barang-barang tertentu, jabatan, pesahabatan, penampilan yang seksi, dan lain-lain selalu tidak akan habis.
Ketika keinginan yang satu terpenuhi, keinginan yang lain akan muncul. Begitu seterusnya. Kalaupun terpenuhi semua keinginan itu, menurut Seraphine itu hanya akan membawa ke kebahagiaan yang semu. “Karena hanya berlangsung sementara. Sesudah semuanya dipeluk, dimiliki, lantas mau apa? Kosong hati ini rasanya,” ujarnya membagi pengalaman.
Bahwa manusia selalu memiliki keinginan, bagi teolog lulusan University of Poona India, Alexander Dirjosusanto itu dianggapnya wajar. Sayangnya, kecenderungan umum dari kita adalah selalu tidak puas dengan apa yang sudah kita capai. Manusia cenderung tamak.
“Orang sering kali merasa gelisah pada apa yang semestinya tidak perlu digelisahkan,” jelasnya. Mungkin seseorang sudah cukup hanya dengan menggunakan telepon genggam seharga 300 ribu. Tapi, karena gengsi atau hanya sekedar ingin, lalu membeli yang harganya tiga juta rupiah.
Begitu tamaknya manusia, ada sebuah sindiran yang begitu tajam berbunyi ‘Biarpun seluruh dunia menjadi miliknya, manusia akan meminta yang lebih lagi. Bahkan seluruh jagat raya ini’.
Bersyukur Lebih Awet
“Satu-satunya obat untuk menjauhi sifat tamak adalah sikap untuk selalu bersyukur,” ungkap Dalai Lama kepada Howard. Langkah ini sangat efektif karena pada dasarnya hal-hal material tidak bisa dijadikan ukuran kebahagiaan seseorang. Tidak ada jaminan bahwa kekayaan saja dapat memberi Anda kebahagiaan atau kepuasaan yang Anda cari.
“Apalagi, perasaan puas kita sangat dipengaruhi oleh kecenderungan untuk melakukan pembandingan,” ujar Tenzin. Setiap kali, kita cenderung melihat dan merasa orang lain lebih beruntung dari diri kita. Padahal kita pun sebenarnya beruntung.
Ketika melihat tetangga mendapat hadiah jutaan rupiah, kita lalu berupaya supaya mendapat hadiah yang sama. Saat orang lain punya telepon genggam, kita berupaya mendapatkannya. Memang kepuasaan akan terasa. Namun hanya sebentar. Kalau tidak mendapat, kekecewaan dan frustasi yang didapat. Kita menganggap Tuhan tidak adil dan sebagainya.
“Maka, kalau kita hendak membandingkan diri dengan orang lain, bandingkanlah dengan mereka yang kurang beruntung dan merenungkan semua yang kita miliki,” jelas Alex.
Dalai Lama cerita kepada Howard tentang sejumlah penelitian. Dalam sebuah studi di Universitas of Wisconsin, Milwaukee, AS, sejumlah wanita diminta melihat gambar-gambar kondisi hidup yang sangat buruk di Milwaukee di sekitar abad ke-20.
Mereka juga diminta membayangkan dan menulis tragedy-tragedi pribadi seperti terbakar, cacat seumur hidup. Sesudah menyelesaikan latihan, para wanita ini diminta menilai mutu hidup mereka sendiri. Latihan ini menghasilkan suatu peningkatan rasa puas atas hidup mereka masing-masing.
Sebuah eksperimen lain di State University of New York, Buffalo, para subyek diminta menyelesaikan kalimat “Saya bersyukur karena saya bukan…” Sehabis lima kali mengulang latihan ini, para subyek menyatakan mengalami peningkatan nyata dalam rasa puas mereka terhadap hidup.
Kelompok subyek lain diminta menyelesaikan kalimat “Andaikata saya menjadi…” Kali ini eksperimen ini menyebabkan para subyek merasa kurang puas dengan hidup masing-masing.
Penelitian-penelitian ini menurut Dalai Lama dilakukan untuk menunjukkan bahwa tingkat kepuasaan seseorang terhadap hidupnya dapat ditingkatkan hanya dengan mengubah perspektif atau sudut pandang orang. “Dalam hal ini sikap mental kita menjadi penentu utama apakah kita mau bahagia atau tidak,” ujar sang biku.
Baik Alex maupun sang biku menyebut bahwa kebahagiaan ditentukan oleh pikiran seseorang sendiri ketimbang oleh peristiwa-peristiwa luar dan hal-hal material.
Saya bisa bahagia karena dalam diri saya punya persepsi keadaan sekarang ini sudah membahagiakan saya. Bukan saya bahagia bila sudah punya ini atau itu, kalau tidak punya saya tidak bahagia. Menurut Alex, semua hal yang kita miliki entah itu kekayaan, kesehatan, persahabatan, jabatan tidak akan memberi dampak yang membahagiakan yang berkepanjangan tanpa sikap mental yang benar. “Paling hanya memberi rasa senang sesaat,” ujar Pastor asal Promasan, Yogyakarta ini.
Sebagai contoh, jika Anda menyimpan kebencian atau kemarahan yang mendalam, pikiran tersebut akan merusak kesehatan Anda. Dengan demikian merusak salah satu prasyarat kebahagiaan. Begitu pula jika Anda tidak bahagia dan bawaannya hanya kesal saja, kesehatan tubuh tidak banyak artinya.
Sebaliknya, Jika Anda dapat mempertahankan pikiran yang tenang, damai, tenteram, Anda dapat menjadi orang yang sangat bahagia meskipun kesehatan Anda buruk.
Alex menegaskan, makin tinggi tingkat ketenangan pikiran kita, makin besar kedamaian yang kita rasakan, makin besar kemampuan kita menikmati hidup yang bahagia dan menyenangkan.
Dalai Lama menambahkan,” Selama Anda tidak pernah menjalani disiplin batin yang bisa mendatangkan kedamaian pikiran, tidak peduli kelimpahan materi atau kondisi yang Anda miliki, semua itu tidak akan pernah memberi Anda rasa sukacita dan bahagia yang Anda dambakan. Sebaliknya, bila Anda memiliki batin yang terpuaskan, pikiran yang tenteram dan kemantapan sampai batas tertentu, bahkan jika Anda memiliki bermacam kelengkapan lain yang biasanya menjadi prasyarat kebahagiaan, Anda masih mungkin menjalani hidup bahagia dan menyenangkan,”.
Ngapain Ngoyo?
Dalai Lama mengatakan bahwa apakah kita bahagia atau tidak tegantung persepsi kita atas hidup yang kita jalani. Kalau kita mau bersyukur dan puas atas apa yang kita kerjakan dan kita peroleh, dengan sendirinya sikap itu akan membahagiaan kita. Dengan kata lain, sebenarnya kebahagiaan dapat dicapai lewat latihan mental.
bahwa upaya untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan itu sebagai sesuatu yang tidak baik. “Bahwa kita bekerja supaya bisa membeli rumah, pakaian dan kebutuhan lain itu adalah normal. Yang tidak normal adalah bila kita terobsesi dan begitu ambisius seolah hidup hanya untuk memenuhi seluruh keinginan itu,” ujar pemenang hadiah Nobel perdamaian tahun 1989 ini.
Alex menyebutkan, bahwa istilah Jawa sakmadyo (secukupnya) adalah kata tepat untuk itu. Bila kita sudah cukup terbantu dengan memiliki mobil kijang, kenapa lagi harus membeli Mercedes. Secukupnya ini akhirnya akan membawa kita pada sikap bersahaja. Kita berupaya karena memang hal itu perlu diupayakan. Sejauh mana perlu, itu harus ditelusuri dari motivasi kita.
Saya mau beli mobil Honda atau Mercedes. Secara fungsional Honda pun cukup, tapi ternyata gengsiku mengatakan aku perlu Merci. Nah, mana yang lebih penting buat Anda, fungsi atau gengsi Anda?
Selain memenuhinya dengan tidak ngoyo (jawa= ambisius) atas apa saja yang kita inginkan, Dalai Lama menyebut bahwa teknik untuk bisa berbahagia adalah dengan menghargai apa yang sudah kita miliki sekarang.
Alex menambahkan, sikap seperti ini bisa kita lihat dalam kebiasaan orang Jawa. Dalam suatu kecelakaan ada yang mengatakan “Untung, telinga saya saja yang lecet…” atau “Untung hanya kaki saya yang buntung, coba kalau ……”
Berpikir optimis semacam merupakan sikap bahwa kita bisa menghargai keadaan yang sudah kita terima. Penghargaan ini pada akhirnya memunculkan sikap syukur, terima kasih, bahwa kita masih beruntung.
Perlu Kebebasan Batin
Menurut Sr. Seraphine, untuk mendapat kebahagiaan, kita perlu mengatur waktu (time manajemen). Dari 24 jam hidup kita sehari, seberapakah waktu kita luangkan untuk diri sendiri, keluarga, profesi, dan kegiatan social?
Kita perlu mengatur agar semuanya mendapat bagian secara proporsional. Perhatian pada proporsi yang tepat dan seimbang menandakan bahwa kita sendiri sadar, hidup ini tidak hanya untuk mengejar satu hal, uang misalnya.
Kalau semua mendapat bagian, kita akan berbahagia. Dari sela-sela waktu itu, akan baik sekali bila kita selalu terhubung dengan Tuhan dengan doa dalam hati. “Mungkin di saat mengetik, kita ucapkan sebaris doa Tuhan, kasihanilah kami atau yang lain dan itu bisa kita lakukan selama 24 jam waktu kita” ujar biarawati Katolik ini.
Sikap seperti ini akan membantu kita menyadari betapa seluruh upaya yang kita kerjakan sepanjang hari bukanlah semata usaha kita sendiri, melainkan berkat bantuan Tuhan juga.
Mereka yang muslim pun bisa melakukannya dengan model zikir dalam hati menyebut salah satu asma Allah. la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) atau Allah Hu (Dialah Yang).
Dengan begitu, setiap kali kita mengalami peristiwa entah itu menyenangkan atau tidak, rasa syukur akan selalu muncul. “Batin kita pun akan merasa bebas karena tidak lekat terhadap hal tertentu,” jelas wanita usia 75 tahun ini.
Kelekatan terhadap barang duniawi seperti uang, jabatan, pujian, dan sebagainya sering membuat kita tidak tenteram. Hidup terasa melelahkan karena seluruh daya upaya diforsir untuk mencapai semua itu. Tanda lekat berlebihan terhadap hal-hal itu adalah bila tidak tercapai, kita akan kecewa, sedih, frustasi berkepanjangan.
“Kita perlu punya kebebasan atau kemerdekaan batin supaya ketika barang duniawi milik kita misalnya uang, persahabatan, kesehatan kita hilang, dengan ikhlas kita bisa menerimanya,” jelas Seraphine
Bagaimana Biar Bahagi
* Sadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa didasarkan pada barang duniawi, melainkan dari dalam diri sendiri.
* Ucapkanlah selalu rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan atas segala hal yang kita capai atau kita miliki sekecil apa pun.
* Hargailah semua yang kita miliki dengan memeliharanya, merawatnya, dan mencintainya.
* Bandingkan diri pada mereka yang kurang beruntung dan bukannya pada mereka yang lebih beruntung dari kita.
* Lakukan segala sesuatu secara proporsional. Bila mesti selesai bekerja jam enam, lakukanlah. Bila mesti berhenti makan setelah kenyang, berhentilah.
* Atur waktu Anda secara seimbang; usahakan waktu untuk diri sendiri, keluarga, pekerjaan, dan kegiatan lain mendapat bagian semuanya.
Sumber: http://www.kompas.com
Dalam wawancaranya dengan seorang psikiater anggota American Board of Psychiatry and Neurology, Howard Cutler, MD, pemimpin politik dan spiritual bangsa Tibet, Dalai Lama keempat belas menyebut bahwa fenomena atau gejala ini merupakan gerak hidup manusia menuju kebahagiaan.
Gerak ini, menurut pemilik nama asli Tenzin Gyatso, sudah dibaca dan dirumuskan sejak lama oleh para filsuf sejak Aristoteles sampai Willliam James. Mereka berpendapat bahwa tujuan akhir keberadaan atau eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk mencari kebahagiaan. Sayang, kecenderungan terbesar manusia dari jaman ke jaman adalah mementingkan diri sendiri serta mau menang sendiri dalam mencapai kebahagiaan itu.
Padahal, menurut Dalai Lama, justru sebaliknya, orang yang mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari pergaulan, selalu cemas, iri dan membenci orang lain adalah orang yang tidak bahagia.
“Orang yang bahagia umumnya lebih mudah bergaul, luwes, kreatif, penyayang, pemaaf, murah hati, selalu bersedia mengulurkan bantuan untuk orang lain dan tidak sombong,” ujar Dalai Lama.
Cenderung Tamak
Banyak orang berpikir bahwa dengan memiliki jabatan tinggi, kursi kepemimpinan di sebuah lembaga tinggi, pendidikan tinggi, uang yang banyak dan segala macam kepuasan lain adalah faktor-faktor yang bisa membahagiakan.
Dalai Lama menyebutkan, kekayaan, kepuasaan atas jabatan tertentu atau kemuliaan, kesehatan, persahabatan, kepuasaan akan pengetahuan, pencerahan atas sebuah pandangan spiritual tertentu bisa jadi menyebabkan kita bahagia.
Namun, menurut Sr. Seraphine OSF, itu bukan bentuk kebahagiaan sejati. “Kebahagiaan sejati terletak di dalam diri kita sendiri,” ujar Pemimpin Wisma Samadi Emaus, Jakarta.
Keinginan kita untuk mengejar segala sesuatu semisal uang, barang-barang tertentu, jabatan, pesahabatan, penampilan yang seksi, dan lain-lain selalu tidak akan habis.
Ketika keinginan yang satu terpenuhi, keinginan yang lain akan muncul. Begitu seterusnya. Kalaupun terpenuhi semua keinginan itu, menurut Seraphine itu hanya akan membawa ke kebahagiaan yang semu. “Karena hanya berlangsung sementara. Sesudah semuanya dipeluk, dimiliki, lantas mau apa? Kosong hati ini rasanya,” ujarnya membagi pengalaman.
Bahwa manusia selalu memiliki keinginan, bagi teolog lulusan University of Poona India, Alexander Dirjosusanto itu dianggapnya wajar. Sayangnya, kecenderungan umum dari kita adalah selalu tidak puas dengan apa yang sudah kita capai. Manusia cenderung tamak.
“Orang sering kali merasa gelisah pada apa yang semestinya tidak perlu digelisahkan,” jelasnya. Mungkin seseorang sudah cukup hanya dengan menggunakan telepon genggam seharga 300 ribu. Tapi, karena gengsi atau hanya sekedar ingin, lalu membeli yang harganya tiga juta rupiah.
Begitu tamaknya manusia, ada sebuah sindiran yang begitu tajam berbunyi ‘Biarpun seluruh dunia menjadi miliknya, manusia akan meminta yang lebih lagi. Bahkan seluruh jagat raya ini’.
Bersyukur Lebih Awet
“Satu-satunya obat untuk menjauhi sifat tamak adalah sikap untuk selalu bersyukur,” ungkap Dalai Lama kepada Howard. Langkah ini sangat efektif karena pada dasarnya hal-hal material tidak bisa dijadikan ukuran kebahagiaan seseorang. Tidak ada jaminan bahwa kekayaan saja dapat memberi Anda kebahagiaan atau kepuasaan yang Anda cari.
“Apalagi, perasaan puas kita sangat dipengaruhi oleh kecenderungan untuk melakukan pembandingan,” ujar Tenzin. Setiap kali, kita cenderung melihat dan merasa orang lain lebih beruntung dari diri kita. Padahal kita pun sebenarnya beruntung.
Ketika melihat tetangga mendapat hadiah jutaan rupiah, kita lalu berupaya supaya mendapat hadiah yang sama. Saat orang lain punya telepon genggam, kita berupaya mendapatkannya. Memang kepuasaan akan terasa. Namun hanya sebentar. Kalau tidak mendapat, kekecewaan dan frustasi yang didapat. Kita menganggap Tuhan tidak adil dan sebagainya.
“Maka, kalau kita hendak membandingkan diri dengan orang lain, bandingkanlah dengan mereka yang kurang beruntung dan merenungkan semua yang kita miliki,” jelas Alex.
Dalai Lama cerita kepada Howard tentang sejumlah penelitian. Dalam sebuah studi di Universitas of Wisconsin, Milwaukee, AS, sejumlah wanita diminta melihat gambar-gambar kondisi hidup yang sangat buruk di Milwaukee di sekitar abad ke-20.
Mereka juga diminta membayangkan dan menulis tragedy-tragedi pribadi seperti terbakar, cacat seumur hidup. Sesudah menyelesaikan latihan, para wanita ini diminta menilai mutu hidup mereka sendiri. Latihan ini menghasilkan suatu peningkatan rasa puas atas hidup mereka masing-masing.
Sebuah eksperimen lain di State University of New York, Buffalo, para subyek diminta menyelesaikan kalimat “Saya bersyukur karena saya bukan…” Sehabis lima kali mengulang latihan ini, para subyek menyatakan mengalami peningkatan nyata dalam rasa puas mereka terhadap hidup.
Kelompok subyek lain diminta menyelesaikan kalimat “Andaikata saya menjadi…” Kali ini eksperimen ini menyebabkan para subyek merasa kurang puas dengan hidup masing-masing.
Penelitian-penelitian ini menurut Dalai Lama dilakukan untuk menunjukkan bahwa tingkat kepuasaan seseorang terhadap hidupnya dapat ditingkatkan hanya dengan mengubah perspektif atau sudut pandang orang. “Dalam hal ini sikap mental kita menjadi penentu utama apakah kita mau bahagia atau tidak,” ujar sang biku.
Baik Alex maupun sang biku menyebut bahwa kebahagiaan ditentukan oleh pikiran seseorang sendiri ketimbang oleh peristiwa-peristiwa luar dan hal-hal material.
Saya bisa bahagia karena dalam diri saya punya persepsi keadaan sekarang ini sudah membahagiakan saya. Bukan saya bahagia bila sudah punya ini atau itu, kalau tidak punya saya tidak bahagia. Menurut Alex, semua hal yang kita miliki entah itu kekayaan, kesehatan, persahabatan, jabatan tidak akan memberi dampak yang membahagiakan yang berkepanjangan tanpa sikap mental yang benar. “Paling hanya memberi rasa senang sesaat,” ujar Pastor asal Promasan, Yogyakarta ini.
Sebagai contoh, jika Anda menyimpan kebencian atau kemarahan yang mendalam, pikiran tersebut akan merusak kesehatan Anda. Dengan demikian merusak salah satu prasyarat kebahagiaan. Begitu pula jika Anda tidak bahagia dan bawaannya hanya kesal saja, kesehatan tubuh tidak banyak artinya.
Sebaliknya, Jika Anda dapat mempertahankan pikiran yang tenang, damai, tenteram, Anda dapat menjadi orang yang sangat bahagia meskipun kesehatan Anda buruk.
Alex menegaskan, makin tinggi tingkat ketenangan pikiran kita, makin besar kedamaian yang kita rasakan, makin besar kemampuan kita menikmati hidup yang bahagia dan menyenangkan.
Dalai Lama menambahkan,” Selama Anda tidak pernah menjalani disiplin batin yang bisa mendatangkan kedamaian pikiran, tidak peduli kelimpahan materi atau kondisi yang Anda miliki, semua itu tidak akan pernah memberi Anda rasa sukacita dan bahagia yang Anda dambakan. Sebaliknya, bila Anda memiliki batin yang terpuaskan, pikiran yang tenteram dan kemantapan sampai batas tertentu, bahkan jika Anda memiliki bermacam kelengkapan lain yang biasanya menjadi prasyarat kebahagiaan, Anda masih mungkin menjalani hidup bahagia dan menyenangkan,”.
Ngapain Ngoyo?
Dalai Lama mengatakan bahwa apakah kita bahagia atau tidak tegantung persepsi kita atas hidup yang kita jalani. Kalau kita mau bersyukur dan puas atas apa yang kita kerjakan dan kita peroleh, dengan sendirinya sikap itu akan membahagiaan kita. Dengan kata lain, sebenarnya kebahagiaan dapat dicapai lewat latihan mental.
bahwa upaya untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan itu sebagai sesuatu yang tidak baik. “Bahwa kita bekerja supaya bisa membeli rumah, pakaian dan kebutuhan lain itu adalah normal. Yang tidak normal adalah bila kita terobsesi dan begitu ambisius seolah hidup hanya untuk memenuhi seluruh keinginan itu,” ujar pemenang hadiah Nobel perdamaian tahun 1989 ini.
Alex menyebutkan, bahwa istilah Jawa sakmadyo (secukupnya) adalah kata tepat untuk itu. Bila kita sudah cukup terbantu dengan memiliki mobil kijang, kenapa lagi harus membeli Mercedes. Secukupnya ini akhirnya akan membawa kita pada sikap bersahaja. Kita berupaya karena memang hal itu perlu diupayakan. Sejauh mana perlu, itu harus ditelusuri dari motivasi kita.
Saya mau beli mobil Honda atau Mercedes. Secara fungsional Honda pun cukup, tapi ternyata gengsiku mengatakan aku perlu Merci. Nah, mana yang lebih penting buat Anda, fungsi atau gengsi Anda?
Selain memenuhinya dengan tidak ngoyo (jawa= ambisius) atas apa saja yang kita inginkan, Dalai Lama menyebut bahwa teknik untuk bisa berbahagia adalah dengan menghargai apa yang sudah kita miliki sekarang.
Alex menambahkan, sikap seperti ini bisa kita lihat dalam kebiasaan orang Jawa. Dalam suatu kecelakaan ada yang mengatakan “Untung, telinga saya saja yang lecet…” atau “Untung hanya kaki saya yang buntung, coba kalau ……”
Berpikir optimis semacam merupakan sikap bahwa kita bisa menghargai keadaan yang sudah kita terima. Penghargaan ini pada akhirnya memunculkan sikap syukur, terima kasih, bahwa kita masih beruntung.
Perlu Kebebasan Batin
Menurut Sr. Seraphine, untuk mendapat kebahagiaan, kita perlu mengatur waktu (time manajemen). Dari 24 jam hidup kita sehari, seberapakah waktu kita luangkan untuk diri sendiri, keluarga, profesi, dan kegiatan social?
Kita perlu mengatur agar semuanya mendapat bagian secara proporsional. Perhatian pada proporsi yang tepat dan seimbang menandakan bahwa kita sendiri sadar, hidup ini tidak hanya untuk mengejar satu hal, uang misalnya.
Kalau semua mendapat bagian, kita akan berbahagia. Dari sela-sela waktu itu, akan baik sekali bila kita selalu terhubung dengan Tuhan dengan doa dalam hati. “Mungkin di saat mengetik, kita ucapkan sebaris doa Tuhan, kasihanilah kami atau yang lain dan itu bisa kita lakukan selama 24 jam waktu kita” ujar biarawati Katolik ini.
Sikap seperti ini akan membantu kita menyadari betapa seluruh upaya yang kita kerjakan sepanjang hari bukanlah semata usaha kita sendiri, melainkan berkat bantuan Tuhan juga.
Mereka yang muslim pun bisa melakukannya dengan model zikir dalam hati menyebut salah satu asma Allah. la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) atau Allah Hu (Dialah Yang).
Dengan begitu, setiap kali kita mengalami peristiwa entah itu menyenangkan atau tidak, rasa syukur akan selalu muncul. “Batin kita pun akan merasa bebas karena tidak lekat terhadap hal tertentu,” jelas wanita usia 75 tahun ini.
Kelekatan terhadap barang duniawi seperti uang, jabatan, pujian, dan sebagainya sering membuat kita tidak tenteram. Hidup terasa melelahkan karena seluruh daya upaya diforsir untuk mencapai semua itu. Tanda lekat berlebihan terhadap hal-hal itu adalah bila tidak tercapai, kita akan kecewa, sedih, frustasi berkepanjangan.
“Kita perlu punya kebebasan atau kemerdekaan batin supaya ketika barang duniawi milik kita misalnya uang, persahabatan, kesehatan kita hilang, dengan ikhlas kita bisa menerimanya,” jelas Seraphine
Bagaimana Biar Bahagi
* Sadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa didasarkan pada barang duniawi, melainkan dari dalam diri sendiri.
* Ucapkanlah selalu rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan atas segala hal yang kita capai atau kita miliki sekecil apa pun.
* Hargailah semua yang kita miliki dengan memeliharanya, merawatnya, dan mencintainya.
* Bandingkan diri pada mereka yang kurang beruntung dan bukannya pada mereka yang lebih beruntung dari kita.
* Lakukan segala sesuatu secara proporsional. Bila mesti selesai bekerja jam enam, lakukanlah. Bila mesti berhenti makan setelah kenyang, berhentilah.
* Atur waktu Anda secara seimbang; usahakan waktu untuk diri sendiri, keluarga, pekerjaan, dan kegiatan lain mendapat bagian semuanya.
Sumber: http://www.kompas.com